MAKALAH
AIK
“Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Islam yang berwatak
Tajdid dan tarjih”
Makalah
kelompok ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah AIK 3
Dosen :
H.Entis
sutisna m.Ag
Di
Susun oleh :
Ulfa
Nurajizah
1431011004
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2015-2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid
dan tarjih yang dibimbing oleh bapak
H.Entis sutisna m.Ag
Makalah yang ditulis
penulis ini berbicara mengenai Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam yang Berwatak
Tajdid dan tajdid, Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber
baik dari buku maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber
yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih
kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah
ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari
bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan. Karena itu sangat
diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun demi
tercapainya makalah yang lebih baik.
Sukabumi,23
November 2015
Penulis
i
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………i
Daftar Isi………………………………………………………………………….ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang……………………………………………………………......1
B.
Rumusan
Masalah……………………………………………………….........1
C.
Tujuan……………………………………………………………………........1
D.
Mamfaat.............................................................................................................1
BAB II ISI
A. Pengertian
tajdid dan tajrid..........................................................................2
B. Model
tajrid dan tajdid Muhammadiyah......................................................4
C. Model
gerakan keagamaan Muhammadiyah................................................8
D. Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah..............................................9
E. Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua.........................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….13
B. Saran...........................................................................................................13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………..14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Modernitas muhammadiyah
lahir sebagai respon atas sejarah, pukan spontanitas. Ketika rakyat tenggelam
dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial, muhammadiyah lahir dengan
banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan spirit PKO ( Pertolongan
Kesengsaraan Oemoem) ketika massyarakat teklena dalam tradisional dan
pencampuradukan ajaran agama, muhammadiyah memberikan wacana dan spirit baru,
tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah sebagai
gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk purifikasi dan
dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa kemunduran umat islam
terjadi karena umat islam tidak mengembangkan aqidah islam yang benar, sehingga
harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori “ segala
sesuatu dalam ibadah madlah dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan
Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang muamalah, dengan melakukan
gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala sesuatu boleh dikerjakan selama
tak ada larangan dala Al-qur’an dan Hadist”.
Muhammadiyah dalam
gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara gerakan purifikasi dengan
gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang dilakukan oleh
muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial
kemasyarakatan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian tajdid dan tajrid ?
2.
Bagaimana Model tajrid dan tajdid
Muhammadiyah
3.
Bagaimana Model gerakan keagamaan
Muhammadiyah
4.
Apa Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah
5.
Apa Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
C.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini
adalah
·
Mampu menjelaskan pengertian tajrid dan
tajdid
·
Mampu menjelaskan model tajrid dan
tajdid Muhammadiyah
·
Mampu memahami model dan makna gerakan
keagamaan Muhammadiyah
·
Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada
100 tahun kedua
D.
Manfaat
Adapun
yang manfaat dari makalah ini yaitu memberikan penjelasan kepada mahasiswa
mengenai, tajrid dan tajdid,model tajrid dan tajdid Muhammadiyha,model dan
makna gerakan keagamaan Muhammadiyah, Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100
tahun kedua
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Tajdid dan Trajih
1. Pengertian
Tajdid
Istilah
tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau
menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti pembaruan, modernisasi
atau restorasi.
Secara
bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut
mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid
berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran
ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun
eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1).
Dalam
pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui
interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap
ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan
dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha
yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan
historisitas kehidupan manusia.
Dalam
konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran
al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya.
Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah
seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama,
K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran
al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang
dianggap syirik.
Dengan
kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar
Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah
mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah
arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif
1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai
jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas.
(Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)
Apa
yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya
selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan
periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan
tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase
aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika Muhammadiyah
didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum
memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan
dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan
pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang
dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya
kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan
tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari
segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki
dua arti, yakni: a. pemurnian; b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan
yang semakna dengannya.
Dalam
arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam
yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk
melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih,
yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid
merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Yang
diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau
mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis. Dengan kata lain,
yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan
al-Hadis tersebut.
2. Pengertian
Tarjih
Tarjih
berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil
sesuatu yang lebih kuat. menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang
dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil )
yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya “
Tarjih
dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “
Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding
pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan
yang lebih kuat .
Tarjih
secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang
sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil
yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan
marjuh..
Dari
pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah :
a.
Adanya dua dalil
b.
Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.
Tarjih
bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah
reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang
yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum,
tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan.
B.
Model
Tajdid dan Tajrih muhammadiyyah
1.
Model tajdid muhammadiyah
Pertama;
kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya
kongkrit dapat dirasakan dan
dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia.
Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada
komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam
rangka rahmatan lil alamin.
Kedua;
tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut,
Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari
sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan
oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh
siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa,
maka yang menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang
membutuhkan.
Ketiga;
tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah
untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang
berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem
solv), temasuk masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan
Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga
bidang, yaitu :
1)
Bidang keagamaan
Pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang
berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan
pemikiran tambahan lain.
Pembaharuan
dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau mengembalikan kepada
aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut akidah
atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana diperintahkan
dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam
masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni,
bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan prinsip
toleransi menurut islam. Sedangkan dalam ibadah, muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasullah tanpa perubahan
dan tambahan dari manusia. Usaha permurnian yang dilakukan muhamaadiyah
terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan berbagai unsur kebudayaan
yang ada di indonesia yaitu
Penentuan
arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya mengarah tepat ke arah barat.
2.
Bidang pendidikan
Dalam
bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan
dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang
penting dalam penyebaran ajaran islam, karena melalui bidang pendidikan
pemahaman tentang islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi
kegenerasi.
Pembaharuan
dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu
a.
Segi cita-cita
Dari
segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas
dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya.
b.
Segi teknik pengajaran
Dari
segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran.
Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem
pendidikan tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan
sendiri. Seperti sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama
didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum.
Selain
pembaharuan dalam pendidikan formal, Muhammadiyah juga telah mempebaharui
pendidika tradisional non formal yaitu pengajian. Dimana yang semula
pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah oleh muhammadiyah diperluas dan
pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada masalah kehidupan sehari-hari.
Begitupula
muhammadiyah telah mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan agama dalam
masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.
3.
Bidang sosial masyarakat
Muhammadiyah
merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik,
panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara
individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya. Usaha pembaharuan dalam
bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan
Kesengsaraan Oemoen (PKO)di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan orang
lain merupakan kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang
jelas untuk ber amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah
dalam surat Al-ma;un 107: 1-7
Yang artinya
“ Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang berbuat riya
dan enggan(menolong dengan) barang berguna.”.
2)
Model Tarjih Muhammadiyah
a.
Al-Tarjih Baina al-Nusush
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan
salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui
kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang
dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu
a) Dari
Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
Imam
al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat
dilakukan dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada:
·
Menguatkan salah satu nash dari segi
sanadnya.
Cara ini antara lain dengan meneliti
kuantitas perawi hadith. Jumhur ulama hadith yang sanadnya lebih banyak
ditarjihkan dari hadith yang sanadnya lebih sedikit. Karena kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh banyak perawi
sangat kecil.
·
Pentarjihan dengan melihat riwayat itu
sendiri.
Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari
hadith Masyhur atau menguatkan hadith Masyhur
daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan dengan cara melihat
persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung sampai
kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus.
·
Pentarjihan melalui cara menerima hadith
dari Rasulullah SAW.
Yaitu menguatkan hadith yang langsung
didengar dari Nabi SAW dari pada hadith yang didengar melalui perantaraan orang
lain atau tulisan. Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal langsung dari
Nabi SAW yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang), amara
(memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang lainnya
b) Dari
Segi Matan
Yang
dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam
al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan
51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, di antaranya adalah:
·
Teks yang mengandung larangan diutamakan
daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama
daripada mengambil manfaat.
·
Teks yang mangandung perintah
didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan
perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
·
Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan
darpada makna majaz.
·
Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil
umum.
·
Teks umum yang belum ditakhsis lebih
didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
c) Dari
Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini,
Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani
menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut:
·
Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih
didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW:
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara
yang halal dengan yang haram, kecuali
yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).
·
Suatu teks yang mengandung hukum
menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam hal seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini
Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini:
Artinya: " Sesungguhnya Nabi SAW
mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang ihram".
(HR.Bukhari dan Muslim).
d) Pentarjihan
dengan Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara
pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash. Dan Imam al-Syawkani meringkasnya
menjadi sepuluh cara, di antaranya:
·
Mendahulukan salah satu dalil yang
mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah, ijma`,
maupun logika.
·
Mendahulukan salah satu dalil yang didukung
oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya
al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah SAW untuk mengikuti
mereka.
·
Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat
(motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak menyebutkan `illatnya.
·
Mendahulukan dalil yang mengandung
kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak menyebutkan demikian.
·
Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan
perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak demikian halnya.
b.
Tarjih Bain al-Aqyisah
Ta`arudh dengan segala macam cara
penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara`
yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil
syara` yang bukan nash yaitu ta`arudh
antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh
belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan
(ta`arudh). Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah
al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah)
menjadi empat kelompok, yaitu
a) Tarjih
dari Segi Hukum Asal.
b) Tarjih
dari Segi Hukum Furu`
c) Tarjih
dari Segi `Illat.
d) Tarjih
Qiyas Melalui Faktor Luar.
C.
Model
gerakan keagamaan Muhammadiyah
Seperti yang dituliskan di awal
bahwa dalam konstitusi Muhammadiyah, terdapat tiga model gerakan yang mewujud
menjadi modal gerakan yaitu: Pertama: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Kedua: sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan ketiga: Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid.
Pada
dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan, sejak
awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah diputuskan
untuk menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja, gagasan tersebut
belum ter-implementasi secara maksimal dalam aktivistas gerakan organisasi.
Kesadaran
yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya program
revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang
dan Ranting (LPCR), sebagai respons atas kondisi global dan tantangan yang
dihadapi.
Kesadaran
untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput merupakan kelanjutan dari spirit
perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam penguatan kesadaran sosial,
politik, ekonomi dan ideologi, -kini terkooptasi oleh kecenderungan
kapitalistik, birokrasi, politisasi yang berlangsung secara massif pasca Orde
Baru. Dan terakhir, beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan
Jamaah, keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis gerakan.
1.
Gerakan Jamaah dan Dakwah (GDJD)
Esensi
GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap
lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan
keluarga muslim yang berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga
aktif merupakan landasan gerakan Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas
yang solid dan terorganisir untuk memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang
segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini adalah membangun basis
kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan.
KH.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya sangat peduli
terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa untuk
melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya,
penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan
Muhamaadiyah.
2.
Langkah Penguatan Jama’ah
Langkah
pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan memberi
kontribusi bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah
meluasnya paham-paham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan
bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB, dapat menjadi bukti betapa rapuhnya
kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja, terdapat tindakan
kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali identitas
lokal melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan potensi
dan basis gerakan untuk hal-hal yang produktif.
Langkah
yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting Muhammadiyah melalui
gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain:
·
Melakukan assesment awal mengenai
kehidupan keagamaan di desa atau komunitas atau ranting
·
Memantapkan konsep dakwah jamaah yang
akan dipergunakan agar sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat basis
·
Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi
para fasilitator yang akan menggerakkan cabang dan ranting
·
Melakukan pendampingan dakwah jamaah
·
Memantapkan organisasi gerakan di akar
rumput (pimpinan ranting) sebagai ujung tombak gerakan dakwah jamaah
Untuk mensinergiskan
langkah-langkah diatas, diperlukan adanya keterlibatan berbagai lembaga amal
Muhammadiyah, seperti: sekolah, rumah sakit ataupun masjid dari seluruh daerah
di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam mempercepat proses pengembangan
cabang dan ranting sebagai sentral untuk mengembangkan Muhammadiyah sebagai
organisasi yang bercorak community based. Agar nantinya tidak hanya memperkuat
infrastruktur Muhammadiyah, tetapi juga memperkuat infrastruktur masyarakat,
sehingga terbentuk masyarakat khairah ummah sebagaimana cita-cita Muhammadiyah.
D.
Makna
gerakan keagamaan Muhammadiyah
Secara
harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun “pergerakan”. Gerak
adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat lainnya[2],
gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah
usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial.
Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan
esensi yang dinamis tidak statis.
Muhammadiyah merupakan organisasi
pergerakan. Kader muhammadiyah di tuntut untuk selalu bergerak dalam menyebar
syariat islam yang terinspirasi dari surat Al-Imran ayat 104.
Muhammadiyah bukanlah gerakan
sosial-keagamaan yang biasa. Tetapi sebagai gerakan Islam, pergerakan
organisasi terkait erat dengan perkembangan agama Islam di Nusantara. Tidak
hanya bergerak, karena setiap dakwah yang disampaikan dan disebarkan harus
berdasarkan bingkai petunjuk ajaran agama Islam: Islam tidak terbangun sebagai
asas formal (teks), tetapi menjiwai, melandasi, mendasari, mengkerangkai,
memengaruhi, menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan tujuan. Tidak sekadar
meng-Islam KTP, menjadikannya slogan dan simbolik belaka, tetapi menjadikannya
jalan dan ruh kehidupan.
Inilah
Islam yang modern, Islam yang melintasi batas-batas kaku tradisional dan
budaya, Islam yang senantiasa melangkah maju ke depan. Sebagaimana semangat
dasar gerakan Muhammadiyah dalam menyebarkan panji-panji agama Islam dan menghadapi pergolakan arah global dunia.
Oleh
karena itu, aktor-aktor gerakan dakwah wajib masuk dalam lingkaran organisasi
agar dapat terorganisir dan memiliki power yang kuat. Sehingga, kelelahan dan
keteteran dalam menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an dapat teratasi sejak dini
dan secara organisatoris. Dalam hal ini, para pendahulu Muhammadiyah
memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma layatim al-wajib Illa bihi da huma
wajib.” Artinya: organisasi menjadi wajib adanya, karena keniscayaan dakwah
memerlukan perangkat-perangkat organisasi
Di
sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat yang
unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Disebutkan bahwa: “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan
yang sebaik-baiknya.”
Ciri-cirinya adalah: a) Muhammadiyah adalah
subjek atau pemimpin, dan masyarakat semuanya adalah objek atau yang
dipimpinnya; b) Lincah (dinamis), maju (progresif), selalu dimuka dan militan;
c) Revolusioner; d) Mempunyai pemimpin yang kuat, cakap, tegas dan berwibawa;
dan e) Mempunyai organisasi yang susunannya lengkap dan selalu tepat atau up to
date (PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2000; 19-30).
E.
Gerakan
Tajdid Pada 100 Tahun Kedua
Tajdid merupakan proses yang tidak
pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk
redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif Islam
seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat
dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara
normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka
yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah.
Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan
Misi Muhammadiyah, 1998: 10).
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani, dan
irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antar teks dan
konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Pengetahuan dan peradaban manusia
senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai
bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini
terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigma merupakan tuntutan sejarah.
Perkembangan peradaban manusia kini sampai
pada era pluralisme dan multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan
dengan dirinya, ternyata mengalami problematika ketika berhadapan dengan
realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi
terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan
peradaban manusia.
Tantangan selanjutnya datang dari ranah
budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama sebagai sistem nilai, norma
dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari
tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan
lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai suatu
ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya
(kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan.
Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau
ulang paradigma yang selama ini dipegang merupakan suatu keharusan. Misalnya,
sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih bersifat monolitik.
Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah
yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan modernisme.
Muhammadiyah 100 tahun kedua,
diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan strategi yang lebih tepat
sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya, baik
tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni
terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini,
diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang
kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam
dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui
potensi dan modal sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus
berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan
Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan,
juga transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut
untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan
tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan
tajdid lebih mendasar sebagai alternatif. Benni Setiawan,
www.muhammadiyahstudies.blog)
Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam
melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin
Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M.
Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua.
Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk
melangkah ke depan di tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar
yang demikian kompleks saat ini.
Nurcholish Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan
Islam modernis seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran
agar “kunci” metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan
kekayaan materi pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik maupun
kontemporer.
Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa
gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc,
kaya amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di
tengah perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan
tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M.
Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini tajdid Muhammadiyah memerlukan
pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke
tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang lebih mendasar).Dalam konteks ini
secara sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada
dalam bingkai dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali
untuk wacana dan pengembangan wawasan pemikiran.
Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy
atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih
dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi
statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya
diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu
saja disertai sikap tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban intelektual yang
tinggi.
Keberhasilan
Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena potensi
dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan
pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan,
dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam
Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam Muhammadiyah
pada tataran praktis dan gerakan aksi
yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan
yang dilakukan oleh umat Islam.
Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga
bidang diantaranya (a) bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang
berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan
pemikiran tambahan lain. (b) bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah mempelopori
dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata dimana
bidang pendidikan dipandang sangat penting dalam penyebaran ajaran agama islam.
(c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan
dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti
jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola
melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang
pada umumnya.
B. Saran
Tajdid atau pembaharuan
dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh
kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang
semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola
kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas
cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi
dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk
Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I
)
§ Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP
Muhammadiyah, 2003)
Wikepedia,arti tajdid secara harfiah:id.wikepedia.org/tajdid
mantap.lengkap👌
ReplyDelete